Soeharto, alamak….

Minggu ( 27 Januari 2008), jam 13.00 WIB, saya sudah berada di belakang komputer kantor mengerjakan beberapa ficer yang telah disetor reporter. Sepuluh menit kemudian, Fanny -salah satu penyiar di Radio VIS, mengumumkan atas kematiaan Soeharto yang ia tahu dari Metro TV. Saya sedikit terkejut mendengar berita itu, lalu bangkit dari kursi menuju studio, menyimak reportase  Metro TV.

Wajah terkejut dan panik  nampak dari  kru siar Metro TV.  Sama seperti kesibukan dan kepanikan seisi rumah sakit Pusat Pertamina (RSPP) yang merawat mantan penguasa Orde Baru selama 24 hari itu.

Akhirnya saya memutuskan untuk merelay Metro TV, selama hampir 60 menit pada jam 14.00 WIB – 14.45 WIB, dan jam 17.00 WIB – 17.45 WIB.  Format siaran berubah. Bila biasanya tiap jam merelay Metro TV untuk program Headline News, hari Minggu kemarin terpaksa ditiadakan. Karena seharian itu Metro TV menurunkan liputan meninggalnya Soeharto dalam program Breaking News.

Saat duduk kembali di depan komputer, beberapa teman menyapa melalui yahoo mesengger, menanyakan gimana pendapat saya atas meninggalnya Soeharto.

Saya jawab singkat, “Ah biasa saja. Sudah takdirnya,hehehe..,”

Hebohnya Soeharto meninggal masih berlanjut di hari kedua, Senin (28/01). Saat Saya memandu program Radio Bincang Kota Banyuwangi Pagi jam 06.00 – 08.00 WIB, Metro TV masih menurunkan liputan persiapan pelepasan jenasah Sang Jenderal berbintang lima itu. Agenda relay terpaksa ditiadakan lagi, karena Metro TV tidak ada Headline News.

Masih hangatnya berita meninggalnya Soeharto, Saya turunkan sebagai topik Radio Bincang Kota Banyuwangi Pagi sessi kedua. Sekaligus, Saya ingin menilai bagaimana komentar masyarakat Banyuwangi atas sosok The Smiling Jenderal ini.

Luar biasa ! Opini positif masih melekat di hati pendengar yang berpartisipasi di acara Saya. Soeharto, meski sudah meninggal kini, masih dielu-elukan sebagai seorang pahlawan yang patut ditauladani.

Coba simak komentar Indra, warga Kecamatan Genteng, “Saya dan keluarga shalat Gaib, mbak, untuk mendoakan semoga Pak Harto tenang di alam sana. Karena selama kuliah tahun 1990 saya sempat merasakan beasiswa Supersemar dari Beliau. Selama kepemimpinan Pak Harto, Indonesia lebih baik. Anak-anak sekolah dikasih beasiswa, harga-harga lebih murah. Jadi Maafkan bila ada kekurangan Pak Harto”

Lalu ada yang telepon lagi, namanya Yudi, warga Kecamatan Tegaldlimo. “Setiap pemimpin pasti punya kekurangan dan kelebihan. Di tangan Pak Harto, negara ini lebih stabil, eknomi jauh lebih baik dibanding saat ini. Kalau orang ngomong Pak Harto gak bisa dijerat korupsi, ya salahkan aparat hukumnya dong, yang gak bisa bekerja. Toh, yang korupsi itu kan anak buahnya Pak Harto semua”

Padahal Saya dan teman duet saya mencoba memaparkan bagaimana dibalik kestabilan yang diciptakan Soeharto saat masih berkuasa. Mulai kebebasan pers yang terkekang, Peristiwa Malari yang menandai pembungkaman aktivis, penyumbatan partai politik, besarnya utang negara, warisan korupsi yang membabi buta.

“Sudahlah, Maafkan Soeharto. Untuk apa mengingat-ingat keburukannya, diambil kebaikannya saja. Ekonomi bisa stabil, keamanan terkendali,” begitu komentar berikutnya dari Agus asal Kecamatan Muncar.

Acara Radio kuakhiri dengan kalimat, “Selamat jalan Soeharto, semoga penegakan hukum di Indonesia tidak tebang pilih, dan korupsi bisa diberantas…”.

Saat keluar dari kantor untuk liputan ke Kantor DPRD Banyuwangi, Bendera Merah Putih setengah tiang sudah terpangsang di sepanjang jalan, menandai Hari Berkabung Nasional sudah dimulai.

Dan sorenya saat mengedit berita, saya membaca berita yang diperoleh reporter, mengenai doa bersama untuk Soeharto yang digelar warga Desa Bulusan, Kecamatan Kalipuro.

Lengkaplah sudah bukti-bukti, nama besar Soeharto selama 32 tahun masih punya pengaruh yang besar. Bukan hanya di Jakarta dan Solo yang diturunkan melalui liputan seluruh media TV Nasional seharian penuh, tapi juga di ujung timur Pulau Jawa ini.

Tinggalkan komentar